Thursday, October 24, 2013

Fear

Beberapa waktu yang lalu, gw sempet liat iklan di youtube, iklan pertama yang gw tonton sampe abis, karena emang jalan ceritanya tampak menarik.
Kurang lebih ceritanya kayak gini:
Di suatu daerah di Thailand, ada seorang anak yang hanya tinggal bersama ibunya. Mereka, hidup dibawah garis kemiskinan, dan berdua saling membantu untuk mencari nafkah guna makan sehari2. Hingga pada suatu ketika, ibu dari anak tersebut jatuh sakit.
Melihat sang ibu sakit2an hingga tidak mampu beraktifitas seperti biasa, sang anak bertekad ingin membelikan obat untuk ibundanya, hanya saja uang yang dimiliki tidak cukup untuk membeli obat.
Seperti kebanyakan anak pada usianya, sang anak mencari cara termudah untuk bisa mendapatkan obat. Dan karena keterbatasannya sang anak memilih untuk mencuri obat dari apotik yang berada di daerah dimana sang anak tersebut mencari nafkah.
Namun sialnya, sang anak tertangkap tangan ketika sedang mencuri obat2an untuk ibunya, hingga dia dipukuli oleh pemilik toko obat dan beberapa warga yang kebetulan ada di toko tersebut.
Tidak jauh dari tempat anak tersebut dipukuli, seorang penjual mie melihat kejadian tersebut dari tokonya, dan kemudian datang untuk membantu sang anak tersebut dengan menghentikan pengeroyokan dan membayar obat yang dicuri sang anak. Sang penjual mie tersebut kemudian mengajak sang anak ke tokonya, dan setelah mengetahui maksud sang anak mencuri obat, penjual mie tersebut membungkuskan makanan untuk sang anak dan ibunya yang sedang sakit.
Tiga puluh tahun berlalu tanpa penjual mie dan anak pencuri obat itu pernah bertemu kembali semenjak insiden pencurian obat tersebut. Sang penjual mie, tetap menjual mienya ditempat yang sama dibantu oleh seorang anaknya yang perempuan. Tanpa diduga, penjual mie tersebut terkena serangan jantung dan langsung roboh seketika, di tokonya, ketika sedang memasak mie.
Anak gadis penjual mie tersebut kemudian membawa ayahnya untuk berobat kerumah sakit, dan kemudian terkejut melihat banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan ayahnya di rumah sakit. Dengan bisnis mie yang tidak bisa berjalan karena sang ayah terbaring dirumah sakit, anak penjual mie tersebut terpaksa menjual tokonya beserta semua isi2nya untuk dapat melunasi biaya rumah sakit.
Kemudian, ketika anak penjual mie tersebut hendak membayar biaya pengobatan, ternyata dia mendapati bahwa biaya2 tersebut sudah ada yang membayarnya.
Tebak siapa yang bayar? Sang anak pencuri obat yang saat itu sudah menjadi dokter di rumah sakit tersebut.
***
Biasanya, jalan cerita seperti ini sudah bisa kita tebak akhirnya, bahwa setiap kebaikan, seperti apapun bentuknya, akan kembali kepada kita pada waktunya. Yang menolong, kemudian menjadi yang ditolong. Cerita motivasi yang sudah umum bagi kita semua.
Hingga kemarin malam, gw baca postingan Ika Natasha di Twitter. Ika Natasha menceritakan kisah yang sama, yang dia dengar dari atasannya, yang atasannya dengar dari kliennya. Kisah yang sama, dengan kesimpulan, moral point dari sudut pandang yang berbeda.
Moral point-nya adalah RASA TAKUT. Yang menjelaskan, mengapa setelah 30 tahun berlalu, penjual mie tetaplah penjual mie, dan mengapa sang anak pencuri obat menjadi seorang dokter.
Rasa takut yang mendasari sang anak pencuri obat hingga akhirnya bisa mencapai prestasi yang luar biasa. Rasa takut untuk kehilangan ibunya, rasa takut untuk tetap berada di bawah garis kemiskinan, rasa takut untuk kembali harus mencuri obat hanya karena dia tidak memiliki uang yang cukup. Rasa takut ini yang kemudian mengantarnya untuk tetap berusaha keras mengapai prestasi.
Lalu kemudian sang penjual mie. Dia tetap menjadi penjual mie, mengapa? Karena dia tidak memiliki rasa takut. Dengan bisnis mie-nya yang bertahan lama, dia terlena dengan zona nyamannya. Hingga pada akhirnya, meski 30 tahun telah berlalu, dia tetaplah seorang penjual mie. Mungkin apabila dia mampu me-maintain rasa takutnya, mungkin setelah 30 tahun dia akan punya cabang dimana2. Namun, sekali lagi, karena zona nyamannya-lah dia mengesampingkan rasa takutnya, hingga tanpa disadari, dia sudah berjalan santai, sementara banyak orang sudah mulai berlari.
Kebanyakan dari kita, terkadang tidak menyadari bahwa kita sedang berada di zona nyaman kita. Zona yang membuat kita lupa akan potensi yang sebenarnya kita miliki, membuat kita tidak mampu mengeluarkan kemampuan terbaik kita untuk menaklukan dunia. Zona yang membuat kita berhenti menimba ilmu, hingga bahkan membuat kita tidak ingin membagikan ilmu yang kita miliki.
Gw pernah ada disituasi yang seperti itu dilingkungan kerja gw. Ketika gw si anak baru, kemudian mampu menguasai semua, dan melibas para senior2 yang sudah bertahun2, bahkan belasan dan puluhan tahun bekerja. Mereka berada di zona nyaman mereka, mereka enggan untuk ‘keluar’ mencari ilmu, enggan beradaptasi dengan hal2 baru, lantas membenci siapapun yang mengusik ketenangan mereka, hingga menghasut kanan kiri untuk berada disisi mereka. Zona nyaman kita, membuat kita merasa berlari kencang, padahal kita sedang berjalan santai.
Rasa takut juga yang membuat sang anak pencuri obat tidak menjadi penjahat dimasa dewasanya. Dia takut dihakimi, dia takut melakukan kesalahan yang kemudian membuat orang lain marah, sehingga membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk tetap berada di’jalur’ yang tepat, di jalan yang benar.


Maintain rasa takut kita dengan menjaga ia tetap ada dalam diri kita, agar kita selalu waspada, dan jangan biarkan rasa takut itu membatasi, karena kita pun tidak akan kemana2 ketika takut mendominasi.

No comments:

Post a Comment